4 Alasan Hak Pengelolaan BP Batam Wajib Ditinjau Ulang

Amir Mahmud, S.Ag., MH., C.L.A*

Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul dalam Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) No.9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konvensi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya yang menentukan jika tanah Negara selain dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan….. Pasal 1 angka 3 PMNA/KaBPN No.9 Tahun 1999 memberi pengertian Hak Pengelolaan (HPl) adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Hak menguasai Negara berlaku atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya sesuai dengan Penjelesan Umum II angka (2) UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Merujuk Pasal 33 UUD 1945 maka penguasaannya wajib untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang oleh Pasal 2 ayat (3) UUPA diberi tafsir ….dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.

Guna menjamin penggunaan hak menguasai Negara istiqamah pada pencapaian “sebesar-besar kemakmuran rakyat maka ditetapkanlah pembatasan mutlak di dalam Pasal 13 ayat (3) UUPA bahwa “Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang”. Jadi Pengaturan terkait Penyelenggaraan dan Badan Pemegang HPl hanya sah dengan Undang-undang. Pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Pedagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU No. 36 Tahun 2000 tampaknya sangat menyadari pembatasan mutlak demikian sehingga dengan tegas Pasal 2 dan 4 UU ini menentukan pembentukan KPBPB dilakukan dengan UU.
HPl BP Batam

HPl BP Batam bersumber dari ketentuan Pasal 1 dan 4 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (PP 46) bahwa hak pengelolaan Otorita Batam dan Pemko Batam beralih kepada BP Batam dan berlaku untuk jangka waktu 70 tahun. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang HPl yang disebutkan terdahulu maka tentunya HPl BP Batam adalah turunan dari hak menguasai Negara dan hanya di atas tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun. Penggunaan HPl BP Batam wajib ditujukan untuk kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan rakyat dan Pengaturan Penyelenggaran dan Badan Pemegangnya hanya sah dengan Undang-undang. Kenyataannya demikian banyak warga Batam yang merasa janggal hal menyangkut kedudukan dan penggunaan HPl BP Batam selama ini.

Dari awal tahun 2016 ini kita menyaksikan Pemko dan rakyat Kota Batam berjuang tiada lelah meminta dan menegosiasikan ihwal kewenangan antara lain karena kesadaran kolektif atas berbagai masalah mendasar dari HPl BP Batam. Berdasarkan alasan-alasan yang akan diuraikan berikut, saya berpendapat sudah wajib hukumnya menghapus HPl BP Batam. Pemerintah menurut saya perlu menyadarinya dan pada saat yang sama BP Batam sudah seharusnya ikhlas dan fokus pada kegiatan yang mencakup fungsi pengusahaan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

4 Alasan Peninjauan Ulang

Setidaknya ada 4 alasan mendasar wajibnya Peninjauan Ulang HPl BP Batam yaitu sejumlah konflik yuridis, logika pemerintahan, bias privatisasi hak menguasai Negara, dan nestapa Pemko dan rakyat di Kota Batam. Sejumlah konflik yuridis dimaksud ialah konflik yuridis-normatif, konflik yuridis-politis, dan konflik yuridis-sosiologis. Konflik yuridis-normatif menyangkut ialah dijadikannya UU 36 Tahun 2000 sebagai dasar hukum PP 46 tentang KPBPB Batam, sedangkan UU ini dalam Pasal 2 dan 4 justru menentukan pembentukannya harus dengan UU. Sejalan dengan Pasal 13 ayat (3) UUPA bahwa “Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. Kenyataannya PP 46 yang bermasalah/ada konflik dasar hukumnya itu mengandung pengaturan HPl sehingga konflik dengan Pasal 13 ayat (3) UUPA. Konflik yuridis-normatif juga berkaitan dengan norma pasal 4 PP 46 yang melabrak kewenangan Pemko atas wilayahnya sesuai pembentukannya oleh UU No.53 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Ketentuan pengalihan hak pengelolaan Pemko kepada BP Batam juga bertentangan dengan Perundang-undangan yang mengatur desentralisasi dan otonomi daerah sehubungan dengan urusan wajib bidang pertanahan dan perhubungan dan kewenangan atribusi di dalamnya.

Konflik yuridis-politis berkaitan dengan substansi kebijakan reformasi agraria dan sebesar-besar kemakmuran rakyat yang diharapkan olehnya. Harapan terwujudnya kebahagiaan rakyat sebagai hasil kebijakan agraria bertentangan dengan fakta penderitaan lahir-batin rakyat di Kota Batam yang tidak dapat memiliki rumah di atas tanah sendiri dan penderitaan warga yang telah mendiami Pulau Batam dan sekitarnya turun-temurun sebelum lahirnya Otorita Batam dan BP Batam yang terpaksa kehilangan hubungan hukum dengan tanahnya sendiri.

Adapun konflik yuridis-sosiologis ialah adanya pembedaan terhadap rakyat di Pulau Batam dengan rakyat pada umumnya di seluruh tanah air berkaitan dengan hak atas tanah. Rakyat di Pulau Batam tidak mempunyai hak milik atas tanah sehingga sejauh menyangkut hak atas tanah tidak berlaku persamaan kedudukan warga Negara di depan hukum yang ditetapkan UUD 1945. Sekiranya BP Batam memberikan sebahagian dari bagian-bagian HPlnya kepada rakyat di Batam dengan hak milik maka tidak berarti hal itu mengakhiri hubungan hukum BP Batam dengan tanah yang telah diberikannya.

Konflik lainnya ialah kewajiban penyelenggaraan pelayanan hak dasar terhadap warga negara di Kota Batam yang terganggu masalah lahan karena Pemko tidak memiliki kuasa atasnya dan juga soal kewenangan penegakan hukum seperti ketertiban umum, bidang kehutanan, dan lingkungan hidup yang banyak terhambat oleh keberadaan HPl BP Batam. Penegakan hukum atas okupasi bagian-bagian ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan dari Jalan Protokol misalnya, tidak serta-merta dapat dilakukan secara langsung oleh Dinas dan Badan terkait sesuai kewenangannya karena merupakan aset BP Batam. Demikian pula penegakan hukum bidang kehutanan untuk hutan lindung mengalami mati suri ketika ternyata ada kaitan dengan pengalokasian lahan oleh BP Batam atasnya kepada pihak ketiga yang melakukan kegiatan di dalamnya.

Logika Pemerintahan
Pemerintahan mensyaratkan adanya wilayah (agraria) yang dikuasai. PP 46 meniadakan penguasaan Pemko atas sebagian besar wilayah termasuk atas tempat kedudukannya yang numpang di atas HPl BP Batam. Ini menempatkan Pemko Batam serupa tapi tak sama dengan Pemerintahan Otonomi Palestina di bawah pendudukan Israel. Susah dimengerti bagaimana hal yang tidak logis dengan penyerahan total HPl kepada BP Batam dapat terjadi pada suatu wilayah pemerintahan dari salah satu daerah otonom di NKRI yang merdeka dan berdaulat ini.

Bias privatisasi hak menguasai negara
Pada prinsipnya hak menguasai Negara adalah bersifat publik sesuai asas yang dianut oleh UUPA yang mana fungsi publik wajib ada pada tiap-tiap mili senitimeter tanah air NKRI kepada pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Meskipun demikian hak menguasai Negara dapat mengandung fungsi privat sesuai dengan PMNA No.9 Tahun 1965, PMNA/KaBPN No.9 Tahun 1999, Kepres No.41 Tahun 1973, dan lain-lain peraturan perundang-undangan.

BP Batam dan pendahulunya almarhum Otorita Batam terbukti lebih condong kepada pemanfaatan fungsi privat dari HPl. Heboh SK. 463/Menhut-II/2013 selain karena maladministrasi dalam penerbitannya, juga berhubungan dengan penegasan ulang status kawasan hutan yang terlanjur dialokasikan kepada Investor dan telah menjadi kawasan-kawasan komersil. Terlihat jelas privatisasi hak menguasai Negara membias demikian rupa hingga menyebabkan berkurangnya kawasan hutan. Selain itu hutan kita tidak lagi mempesona, sedang suhu udara terus meninggi. Keanekaragaman hayati dan debit air yang dihasilkannya terus menipis. Manfaat hutan bagi kebahagiaan dan kesejahteraan makin berkurang akibat komersialisasi.

Bias privatisasi juga telah menyebabkan minimnya fungsi publik dari hak menguasai negara atas tanah yang dibuktikan dengan masalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik dasar seperti penyediaan sarana pendidikan wajib belajar, dan peningkatan kapasitas gedung kantor sejumlah Kelurahan dan Kecamatan, karena ketiadaan penguasaan dan persediaan lahan. Hal menyangkut kesulitan penyediaan sarana pendidikan telah akrab dengan rakyat dan Pemko Batam yang dalam enam tahun terakhir selalu ribut adu mulut akibat terbatasnya Ruang Kegiatan Belajar berdampak pada minimnya kuota penerimaan peserta didik baru.

Lebih jauh lagi ternyata bias privatisasi hak menguasai Negara di dalam penggunaan HPl oleh BP Batam telah menyebabkan timbulnya praktek monopoli usaha agraria oleh swasta. Tesis Satrio Nurwicaksono, SH. Tahun 2008 bertitel Pelaksanaan Pemberian Hak Pengelolaan Atas Tanah Dan Potensi Timbulnya Monopoli Swasta Atas Usaha-Usaha Dalam Bidang Agraria dengan studi kasus pelabuhan umum Kabil telah membuktikan hal ini. Dalam penelitiannya Satrio menemukan akibat yang ditimbulkan dari penyerahan bagian-bagian tanah pengelolaan Hak Pengelolaan kepada pengelola pelabuhan umum Kabil adalah perusahaan pengelola melakukan monopoli usaha dalam bidang agraria atas tanah seluas 58,6 hektar dengan cara melakukan penguasaan atas usaha kepelabuhan didalam bumi dan air Kota Batam Negara Indonesia.

Muara dari tiga masalah mendasar tersebut adalah nestapa Pemko dan rakyat di Batam. Nestapa itu tiada terhindarkan oleh keadaan pemerintahan minim kuasa agraria, berbagai kesulitan di dalam penyelenggaraan urusan wajib pelayanan publik, sejumlah hambatan pelaksanaan kewenangan penegakan hukum, dan kondisi rakyat seolah tanpa tanah air di negeri sendiri, suatu diskriminasi hak atas tanah yang tidak pernah dikehendaki oleh UUD 1945.

Demikianlah terhadap keberadaan HPl BP Batam wajib dilakukan Peninjauan Ulang agar penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekekayaan alam di Kota Batam dapat diluruskan kepada pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Patutlah kiranya Presiden Joko Widodo segera melakukan Peninjauan Ulang HPl BP Batam serta menerbitkan kebijakan penataan baru, penyesuaian dasar hukum pembentukan BP Batam, dan pengembalian serta pemulihan kewenangan Pemko Batam sesuai kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Apabila HPl masih dinilai sangat penting bagi pencapaian maksud pembentukan KPBPB Batam maka hendaklah pengaturan tentang HPl tersebut dilakukan dengan UU tersendiri sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat (3) UUPA dan dengan pembatasan tertentu hanya pada ruang agraria yang terkait langsung dengan fungsi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, tidak menyeluruh atas gugusan pulau mulai dari Pulau Batam hingga Pulau Galang Baru dan pulau-pulau kecil di sekitarnya sehingga terpenuhilah hak atas ruang agraria bagi pemukiman dan pemerintahan (wilayah pemerintahan) bagi pelaksanaan urusan wajib Pemko Batam sebagaimana ditentukan oleh UU Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak termasuk HPl.

*Mantan Asisten Ombudsman di Perwakilan Provinsi Kepri

Redaksi

Read Previous

Aklamasi, Hasriawadi Pimpin PK Golkar Bintan Timur

Read Next

Wisata Uji Nyali Anti-Mainstream Di Bintan