Perspektif Kebijakan Blunder Apri

Oleh: Auliansyah
Direktur Regalia Istitute

Pasca polemik tentang kebijakan Apri Sujadi sebagai bupati Bintan yang melakukan seleksi ulang bagi tenaga PTT/Honorer sekaligus seleksi terbuka bagi pelamar umum di lingkungan pemerinta kabupaten Bintan, Bupati Bintan kembali membuka babak baru polemik terkait landasan kebijakan yang melukai banyak pihak khususnya para pegawai honorer yang umumnya sudah mengabdi di kabupaten Bintan diatas 3 tahun, yang kemudian terpaksa merumahkan diri hanya karena masalah administratif pada mekanisme yang diberlakukan Bupati Bintan tersebut. Baca Rivew Seleksi Ulang Tenaga Honorer Bintan.

Terlepas dari bahasa politik Bupati Bintan yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut adalah upaya efisiensi anggaran yang defisit, pemberdayaan SDM di Bintan maupun penguatan struktur organisasi sampai dengan evaluasi kinerja honorer yang sudah ada, yang perlu digaris bawahi juga adalah bahwa Bupati Bintan mengatakan bahwa kebijakan tersebut dilandasi dengan 2 landasan hukum. Pertama adalah UU no 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN yang juga mengatur tentang PTT/Honorer yang dalam Undang-undang tersebut diistilahkan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kedua, Bupati Bintan meletakkan Peraturan Bupati Nomor 29 tahun 2016 tentang perubahan atas Perbup Nomor 1 tahun 2011 tentang pedoman tenaga honorer di lingkungan Pemkab Bintan sebagai landasan yang dianggapnya sebagai dasar pengumuman seleksi seleksi ulang bagi tenaga PTT/Honorer sekaligus seleksi terbuka bagi pelamar umum di lingkungan pemerintah kabupaten Bintan.

Pertanyaan yang menarik adalah pertama, bagaimana mungkin Bupati Bintan meletakkan UU No 5 Tahun 2014 tersebut sebagai landasan kebijakan seleksi ulang dan seleksi umum tenaga PTT/Honorer? sementara sampai hari ini sejak di terbitkannya Undang-undang tersebut Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksana dari UU No 5 Tahun 2014 tersebut belum di terbitkan. Sementara itu juga UU No 5 Tahun 2014 ini merupakan salah satu Undang-undang yang sedang direvisi oleh Pemerintah Bersama DPR, yang juga sampai hari ini belum selesai pada prosesnya.

Kedua, bagaimana mungkin  Perbub No. 29 Tahun 2016 memasukkan UU No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara sebagai konsideran dalam Perbub tersebut? Disatu sisi sebagaimana tulisan diatas bahwa UU No. 5 Tahun 2014 tersebut belum memiliki PP sebagai pedoman teknisnya. Kemudian Undang-undang tersebut masih dalam status revisi. Idealnya dalam hierarki peraturan perundang-undangan selalu diikuti PP sebagai pedoman teknis pelaksanaan Undang-undang dan pada kenyataannya nomenklatur yang dikenal dalam UU No 5 Tahun 2014 adalah ASN dan PPPK dan tidak mengenal honorer. Sedangkan pada Perbub No 29 Tahun 2016 Nomenklatur yang di kenal adalah tenaga honorer Bukan PPPK.

Jika Bupati Bintan tidak mampu menjelaskan relevansi dan rasionalisasi hal ini secara detail, tentu saja indikasi adanya motivasi yang dipaksakan menjadi semakin kuat. Sementara itu sampai hari ini tenaga PTT /Honorer terutama yang sudah mengabdi sekian tahun tidak memiliki kepastian hukum atas status pekerjaannya.

Ketiga, landasan hukum yang disampaikan Bupati Bintan ke publik justru tidak memperbaiki keadaan dan terkesan sebagai usaha pembenaran terhadap pengumuman Nomor : 800/BKD/435  Tentang Seleksi Ulang Bagi Tenaga Honorer/PTT dan seleksi Bagi Pelamar Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bintan Tahun 2016 yang pada implementasinya cenderung politis.

Dalam Pasal 5 Perbub No 29 Tahun 2016 disebutkan.
(1) Tenaga Honorer Daerah diberhentikan atau dapat diberhentikan dengan hormat karena :
a. Diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;
b. Meninggal dunia;
c. Telah mencapai usia 56 tahun;
d. Adanya kebijakan pengurangan Tenaga Honorer Daerah karena penyederhanaan organisasi atau kemampuan keuangan daerah yang tidak memungkinkan;
e. Atas permintaan sendiri;
f. Adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan evaluasi kinerja dan kompetensi.

Dalam kenyataannya, berdasarkan  dari informasi yang diberikan honorer yang sebelumnya sudah mengabdi, mereka mengakui menjalani evaluasi kinerja. Namun evaluasi kinerja dan kompetensi yang dilaksanakan oleh Pemkab Bintan justru juga tidak menghasilkan pemberhentian senada yang tertulis dalam huruf f Pasal 5 tersebut. Lebih jauh lagi uniknya ternyata landasan hukum yang disebutkan oleh Bupati Bintan Justru tidak menyebutkan Mekanisme Seleksi Ulang yang juga punya pengertian yang jauh berbeda dengan evaluasi kinerja sebagai alat pemutusan hubungan kerja. Sementara pemahaman berhenti bekerja yang di maknai oleh pegawai PTT dan honorer adalah ketidak lulusan saat tes seleksi ulang yang juga tidak di umumkan hasil dan parameter kelulusannya. Maka, apabila kita memahami dengan seksama Perbub No. 29 Tahun 2016 tersebut tenaga PTT/ Honorer yang sudah bekerja tidak dapat diberhentikan dengan dengan proses seleksi ulang yang dilakukan Pemkab Bintan 201 kemarin.

Hal ini justru menjadi blunder bagi produk kebijakan Bupati Bintan lewat  Pengumuman Nomor : 800/BKD/435  Tentang Seleksi Ulang Bagi Tenaga Honorer/PTT dan seleksi Bagi Pelamar Umum di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bintan Tahun 2016. Selain Pengumuman ini tidak memiliki dasar landasan hukum yang kuat, yang lebih parah justru pengumuman tersebut bertentangan dengan substansi yang di katakan Bupati Bintan sebagai landasan kebijakannya yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 dan Perbub No 29 Tahun 2016. Baik dalam prosesnya maupun implementasinya yang menuai masalah. Terlebih setelah PP No. 48/2005 pemerintah sudah melarang kepala daerah mengangkat pegawai honorer, selanjutnya Surat Edaran yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013 yang menegaskan himbauan kepada jajaran pemerintah daerah tentang larangan pengangkatan tenaga honorer, bukannya melakukan perbaikan-perbaikan terhadap produk kebijakan rezim sebelumnya yang mungkin perlu di perbaiki, Bupati Bintan justru membuat kebijakan yang kontraproduktif terhadap arah kebijakan pemerintah pusat.

Selanjutnya jika kita perhatikan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, hal yang paling penting untuk diperhatikan dan disadari setiap decission maker dalam ha ini kepala daerah adalah.,Pasal 250 ayat 1 menyebutkan, Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat 1 dan ayat 3 dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat 2 menyebutkan, bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi:
a.  Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b.  Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c.  Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Pasal 251 ayat 2 menyebutkan , Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Ketika produk kebijakan Bupati Bintan hari ini berupa Seleksi ulang bagi tenaga PTT/Honorer sudah memenuhi point-point yang dilarang dalam perundang-undangan yaitu pasal 250 ayat 1 dan 2 UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. Maka sudah Kewajiban Gubernur untuk mencabut produk kebijakan tersebut yang merupakan turunan dari Perbub Bintan No. 29 tahun 2016 sebagai bentuk penegakan Undang-Undang.

Persoalan ini tidak dapat dianggap sepele, karena pelanggaran yang terjadi akibat produk kebijakan Bupati Bintan saat ini sudah jadi preseden buruk bagi semangat good governance dan good goverment. Ini juga berpotensi menjadi laten politik kepala daerah terpilih yang merusak moral dan wibawa pemerintahan dan birokrasi yang seharusnya bersih dari Kolusi dan Nepotisme.

Sebenarnya konteks politik balas budi kepala daerah terhadap barisan pendukungnya pada hari ini memang meupakan hal yang tidak lagi dapat dianggap tabu, dan dalam demokrasi terlebih otonomi daerah hal-hal seperti ini memang tidak dilarang dalam norma hukum meskipun secara etika dan hukum positif yang hidup di masyarakat hal seperti ini tidak mencerminkan kekuasaan yang idealnya inklusif. Tetapi, dalam ranah birokrasi harusnya kepentingan politik balas budi ini juga harus di akomodir sedemikian rupa sehingga tidak merusak azas merit yang ada dalam birokrasi. Terlebih ketelitian dan kehati-hatian memproduksi sebuah kebijakan yang merupakan interpretasi dari kepentingan politik juga sangat penting agar tidak menimbulkan preseden buruk di masyarakat yang dapat merusak sendi-sendi kerukunan dalam berbangasa dan bernegara.

Redaksi

Read Previous

KPU Tanjungpinang Buka Lelang Penghapusan Surat Suara

Read Next

Pesan Perdamaian Dari GMKI dan Kelompok Cipayung Untuk Indonesia