Pedagang Keliling Jelajahi Sumatera Dengan Jalan Kaki

Tanjungpinang, IsuKepri.com – Suatu keberkahan bagi mereka yang ikhlas menempuh kehidupan demi menjalankan amanat dari Yang Maha Kuasa. Tak kenal letih apalagi mengeluh, ketika keterbatasan menjadi hambatan. Namun, tentu Sang Pencipta lebih mengetahui dari semua yang diciptakan dan ditakdirkan-NYA. Seperti hal yang dialami Calim, pria yang berasal dari Jawa Tengah ini rela menempuh ribuan kilo dengan berjalan kaki ketimbang harus menjadi gelandangan. Apa lagi, keluarga kecilnya menanti kepulangan sang ayah dan ratapan tiga buah hati dengan harap ayahnya bisa pulang dengan selamat seperti ketika meninggalkan mereka.

Mengapa Calim rela berjalan kaki sambil menggendong tas dipundak kanan dan kedua belah tangan yang penuh dengan tumpangan. Inilah ia Calim, lahir dari keluarga tak mampu pada 1975 silam di Brebes. Sebagai mana layaknya masa kecil,

Calim bukanlah anak yang bisa berbahagia dalam menjalankan masa kanak – kanaknya, karena beban ekonomi yang menghimpit, membuat Calim hanya bisa menamatkan bangku sekolah dasar, yang penting baginya bisa baca tulis dan berhitung sudah lebih dari cukup.

Beranjak dari masa silam yang kelam dan susahnya mencari pekerjaan dengan upah yang memadai, sementara pendidikan yang terbatas. Calim yang mulai membina rumah tangga bersama Farida, berkeinginan mencari pekerjaan yang menurutnya sesuai dengan taraf pendidikannya dan bisa untuk menafkahi keluarga. Akhirnya pilihan terberat pun ia lakukan, dengan mengorbankan kebersamaan bersama isteri, Calim pergi ke Sumatera meninggalkan Farida di Brebes pada 1998.

“Susahnya mencari pekerjaan dengan pendidikan Sekolah Dasar (SD) membuat saya harus pergi ke Sumatera meninggalkan keluarga. Bagaimana tidak, keahlian gak punya dan cuma tamat SD. Kalau tidak berbuat apa – apa maka jadi gelandangan. Sebab itu saya coba mengadu nasib ke Sumatera,” kata Calim.

Setibanya ia di Lampung, Calim dan 16 rekannya itu mulai menyebar sambil menjajakan dagangan yang dibawa dari Jawa, berupa asbak rokok berbahan fiber. Meskipun terasa asing, namun setiap perkampungan, pemukiman dan tiap orang yang ia jumpai dalam perantauan, Calim selalu menawarkan produk yang dibawanya.

Bahkan dengan harga Rp10 ribu per asbaknya, Calim hanya mendapat upah Rp4 ribu. Sementara perbandingan dengan perjalannya mengunakan kaki, tidaklah seberapa dengan apa yang ia peroleh.

“Saya jual asbaknya Rp10 ribu per asbak, untuk saya Rp4 ribu dan sisanya untuk pemilik usaha ini,” kata Calim pada IsuKepri.com. Walau bagaimanapun, kegigihannya dan niat usahanya demi keluarga menjadi rahasia pribadi antara ia dan Tuhan. Terkadang jika rezeki itu mujur, Calim dapat mengantongi Rp100 ribu dari hasil jualannya. Namun itu tak menutup kemungkinan, penghasilannya akan bersih dari potongan.

“Kalau rezeki lagi bagus, kadang dapat Rp100 ribu, tapi dari situ juga uang itu dipakai untuk biaya makan, minum serta untuk kirim keluarga di Brebes sana,” imbuhnya.

Tak cukup dengan kondisi Lampung, Calim berjalan menapaki jalan sampai ke Aceh, yang semua itu ia lakukan demi tanggungjawabnya menafkahi keluarga, bahkan muslim ini sempat menghindar dari amukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Nanggroe Aceh Darussalam.

Seiring berjalannya waktu, rantauan Calim sampai pada tahun 2005. Melihat kurangnya minat masyarkat terhadap asbak rokok miliknya dan beban keluarga yang semakin berat, Calim pun mengganti dagangannya dengan tikar pandan Tasikmalaya.

Tikar yang dijual senilai Rp200 – Rp250 ribu per unitnya, menurut Calim. Sementara upah dari penjualannya, ia mendapatkan Rp15 ribu per tikar yang laku. Jauhnya jarak dan pikulan tersebut membuat tikar pandan yang ia jajakan tidaklah

bisa dibawa banyak seperti dagangan sebelumnya. Ia pun mengakui hanya mampu memikul 7 tikar untuk dijajakan dengan berjalan kaki.

“Tak mampu saya mau bawa tikarnya dalam jumlah banyak, karena berat,” katanya.

Semua itu baginya tidaklah perlu dikeluhkan. Apalagi kini, buah hati pertamanya Feri Annurahman sudah berada di kelas 3 SMK Pelayaran, Cindy kelas 5 SD dan Yusuf Ardiansyah baru berusia 1 tahun membuatnya semangat. Karena sambung Calim, merekalah harapan baginya dan isteri untuk hidup di hari tua.

“Jika memang saya harus seperti ini, saya ikhlas, yang penting anak – anak bisa sekolah semuanya. Janganlah seperti ayahnya ini,” ucapnya sambil menundukan kepala.

Pantang menyerah pada keadaan, karena mengingat tikar pandannya habis, Calim mencoba menjajakan sampul jok motor di Kota Tanjungpinang, Kepri. Karena baginya, keluarga adalah segala – galanya. Jika sebagai kepala keluarga tidak mampu menafkahi keluarga, maka pikirnya, bagaimanalah nasib anak dan istrinya di Brebes sana.

“Sampul jok motor ini saya jual seharga Rp75 ribu, dari penjualan itu saya dapat upah Rp15 ribu per jok dari yang terjual,” katanya yang baru empat hari berada di Tanjungpinang yang sebelumnya berada di Pekan Baru.

Memang sempat terlintas untuk membuka usaha kedai kecil – kecilan, tapi menurutnya, pendapatan yang pas – pasan dan tidak menentu, membuat Calim mengurungkan niat itu atau dengan kata lain, ia tidak memiliki modal usaha untuk membuka kedai yang dicita – citakannya bersama istri supaya nanti kalau terwujud, Farida sang isterilah yang akan mengelola kedai tersebut.

“Apa yang saya jalani sekarang ini, semua diniatkan hanya kepada keluarga dan kejujuran. Karena kalau kita baik, orang pasti akan baik kepada kita,” imbuhnya.

Calim menambahkan, ia sampai empat kali menjumpai orang menjatuhkan dompet di jalan. Sebagai muslim yang berniat baik dan ingat keluarga, dompet yang ia temukan selalu diberitahu kepada pemiliknya.

“Alhamdulillah, di Tanjungpinang ini, 35 unit sampul jok yang saya bawa, sudah mulai laku. Semuanya karena iklhas itu,” ucapnya. (SAUD MC)

Alpian Tanjung

Read Previous

20 Kebakaran Hutan di Tanjungpinang Terjadi Selama 2014

Read Next

HUT ke-9, Desa Toapaya Utara Gelar Syukuran