Oleh H. Surya Makmur Nasution*
Anggota DPRD Kepri 2009 – sekarang.
Opini Parlementaria, ISUKepri.com – TAK terbantahkan, bagi suatu bangsa dan negara, pengembangan sumber daya manusia (human resource development) atau sering disebut SDM, adalah sesuatu yang mutlak. Pengembangan SDM menjadi suatu keniscayaan untuk mengukur maju atau mundurnya peradaban sebuah bangsa dan negara.
Semakin tinggi kualitas SDM sebuah bangsa dan negara, semakin baik pula tingkat kemakmuran dan kesejahteraan warga masyarakatnya. Sebaliknya, semakin rendah kualitas SDM-nya, semakin rendah pula tingkat kemakmuran dan kesejahteraannya.
Dari berbagai defenisi yang dikemukakan para ahli, pengertian SDM dapat diartikan sesuatu potensi yang ada pada manusia untuk digerakkan dalam lingkungan sebuah organisasi untuk mewujudkan eksistensinya.
Pengalaman berbagai negara, terutama negara-negara maju (Amerika, Jerman, Inggris, Rusia, Jepang dll) dan negara-negara industri baru (newly industrial countries), seperti Korea dan Taiwan, kekayaan sumber daya alam (SDA) bukanlah menjadi tolak ukur atau penentu kemajuan. SDA yang melimpah tidaklah secara otomatis membuat suatu bangsa menjadi maju dan modern dalam kemakmuran.
Pengalaman Jepang, Singapura dan Korea, menjadi sebuah bangsa yang maju dan modern, bukanlah karena kekayaan SDA melimpah ruah di negaranya. Singapura, misalnya,– yang bagi warga Batam dapat menempuhnya dalam hitungan tak sampai satu jam–, pendapatan perkapita penduduknya berdasarkan estimasi World Bank pada Oktober 2010 sebesar USD 57.238. Pertumbuhan ekonomi Singapura (2011) sendiri 4,8 persen atau lebih rendah dari Indonesia 6,3 persen.
Padahal, dari sisi geografis negara tetangga tersebut hanya memiliki luas wilayah tak lebih dari 750 kilometer persegi atau hampir setara dengan luas Kota Batam (Batam Rempang Galang) dengan jumlah penduduk 4.353.893 dan SDA yang terbatas. Sebaliknya, Indonesia dengan luas wilayah yang besar, dengan SDA yang melimpah ruah, pendapatan perkapita penduduknya baru mencapai USD 4.380 dengan jumlah penduduk 241.452.952.
Brunei Darussalam yang mengandalkan kekayaan tambang minyak dengan jumlah penduduk 365.251 jiwa pendapatan perkapitanya mencapai USD 42.400. Malaysia yang juga memiliki kekayaan tambang minyak dan perkebunan sawit dengan jumlah penduduk 23.533.482 jiwa pendapatan perkapitanya sebesar USD 14.603.
Pendapatan per kapita Singapura bila dibandingkan dengan Brunei Darussalam, jelas terlihat bahwa jumlah penduduk Singapura jauh lebih besar dibandingkan Brunei, tapi pendapatan perkapitanya lebih besar Singapura. Sebaliknya, jumlah penduduk Malaysia lebih besar, tetapi, pendapatan per kapita Singapura jauh lebih besar.
Menariknya bila dilihat dari Index Persepsi Korupsi (IPK) sebagaimana data dari Transparancy International tahun 2012, Singapura berada pada posisi teratas dengan skor 87 atau urutan kelima dari 176 negara di dunia. Kemudian, berturut-turut Brunei Darussalam dengan skor 55, Malaysia 49, Thailand 37, Filipina 34, dan Indonesia 32 atau urutan ke 118 dari urutan global.
Tingginya pendapatan perkapita penduduk Singapura tidak lain karena kemajuan pengembangan SDM-nya yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Bukan karena kekayaan SDA-nya. Kemajuan SDM tersebut juga mempersepsikan bahwa IPK Singapura jauh lebih baik dengan negara-negara di Asean bahkan global
Dengan demikian, SDA yang melimpah bukanlah jaminan bagi kemajuan dan kemodernan suatu bangsa dan negara. Sebaliknya, suatu bangsa dan negara dengan SDA yang terbatas, akan tetapi didukung oleh SDM yang berkualitas, dan moralitas yang berintegritas tinggi, dapat menjadi bangsa dan negara yang maju dan modern.
***
Bagaimana dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia ? Harus kita akui dan yakini, bangsa dan negara yang bernama Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, atau dari Miangas ke Pulau Rote, adalah negeri kaya raya di tengah jamrut katulistiwa. Potensi kekayaan SDA tak terbilang. Mulai dari pertambangan minyak dan gas, sumber daya mineral, batu bara, bijih besi, emas, timah dll ada di Tanah Air.
Bahkan, kekayaan perikanan lautnya yang bertabur di antara ribuan pulau yang dikenal dengan sebutan negeri archipelago, atau kekuasaan lautan. Saking kayanya Indonesia, Soekarno, sebagaimana dikemukakan Yudi Latif dalam bukunya, Negara Paripurna (2011), pernah menyebut, Negara Indonesia sebagai negara lautan yang ditaburi pulau-pulau.
Yudi Latif melukiskan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antar benua dan antar samudera, dengan daya tarik sumber daya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Dengan kekayaan itulah, jadilah Nusantara sebagai taman sari peradaban dunia (Yudi Latif: 2011; 3).
Pertanyaannya, apakah kekayaan SDA yang tak terbilang itu dapat jadi jaminan memberi manfaat untuk kemakmuran rakyat Indonesia ? Harus jujur kita jawab, keadaan kemakmuran rakyat Indonesia belumlah sesuai harapan cita-cita dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 alinea IV.
Negara Kesatuan Republilk Indonesia yang terbentang pada 3.977 mil antara Samudera Hindia dan Sumadera Pasifik dengan total luas wilayah 1.910.931,32 Km2, masih terdapat 29,13 juta penduduk miskin atau 11,96 persen(2012), atau menurun dari 12,49 persen (2011) dan 13,33 persen (2010) (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2012).
Kemudian, dari sisi index pembangunan manusia (human development index) kondisi Indonesia masih dibawah Singapura dengan skor 0.866, Brunei 0,838, Malaysia 0,761, Thailand 0,682, Filipina 0,644 persen, dan Indonesia 0,617. Ini menunjukkan, bahwa IPM yang rendah berkorelasi dengan rendahnya pendapatan perkapita suatu bangsa dan negara.
***
Pengalaman Indonesia untuk memakmurkan rakyatnya telah dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pergantian rezim pemerintah dari masa ke masa telah berupaya untuk menunaikan janji mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Indonesia. Orde Lama yang dipimpin oleh Bung Karno sebagai presiden pertama RI, cendrung menempatkan kekuasaan pada personal dirinya. Sebaliknya, rezim pemerintah Orde Baru yang bertekat hendak melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen, cendrung menjadi otoritarian dalam pengelolaan kekuasaannya.
Kedua rezim pemerintah masa lalu, faktanya, belum selesai membangun SDM sebagai instrumen dan kekuatan dalam mengelola kekayaan SDA yang dimiliki bangsa Indonesia. Namun, menihilkan perjuangan pemimpin masa lalu yang telah membangun bangsa Indonesia pada masanya, adalah tindakan a-historis. Bagaimana pun bangsa Indonesia punya utang sejarah kepada pemimpin masa lalu yang telah memberi kontribusi tenaga dan pikiran dalam memajukan NKRI sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Lalu, bagaimana dengan rezim pemerintah pada masa reformasi dewasa ini dalam membangun SDM untuk memakmurkan rakyat dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Ada perbedaan instrumen pada masa rezim Orde Baru dengan pemerintah Reformasi dalam mewujudkan cita-cita kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada masa Orde Baru, dalam pengelolaan SDA dan SDM cendrung dilakukan secara terpusat atau sentralistik. Sehingga gagasan atau kreativitas atau kearifan dari local genius, dengan keragaman kekayaan yang dimiliki oleh setiap daerah, terabaikan atau tidak diperhatikan.
Memasuki era reformasi, rezim pemerintah telah menjadikan daerah sebagai kekuatan ujung tombak pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kesempatan dan peluang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur pemerintahan dan mengurus diri sendiri sesuai dengan kemampuan dan prakarsa sendiri.
Dalam menjalankan fungsi otonominya, daerah dibatasi untuk enam urusan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi (peradilan), moneter dan fiskal nasional, serta agama, yang sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah.
Dengan demikian, di luar enam urusan tersebut, daerah diberi kewenangan untuk melakukan upaya atau kreativitas sendiri untuk mengurus dan mengatur pemerintahan sendiri berdasarkan kemampuan daerah masing-masing berdasar aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Otonomi pada hakekatnya memberi kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus dan mengatur pemerintahan atas prakarsa dirinya sendiri. Dengan demikian segala sesuatu yang dimiliki daerah, berupa tradisi, budaya dan kearifan lokal dapat menjadi kekuatan.
Kekayaan kearifan lokal atau volk geist, meminjam istilah Von Savigny, aliran mazhab sejarah dalam ilmu hukum, menjadikan setiap masyarakat dengan kesadaran dalam perkembangannya pasti memiliki nilai dan norma yang mereka jalankan dalam rangka mengatur dan melahirkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Saya melihat, berdasarkan konstitusi negara UUD 1945 dan UU Pemda, telah memberi kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur pemerintahan dan mengelola pemanfaatan SDA dengan SDM di daerah masing-masing. Sesungguhnya, spirit otonomi daerah inilah menjadi titik tolak pengembangan kekayaan sumber daya yang dimiliki daerah.
Pertanyaannya, seberapa besar perhatian pemerintah daerah dalam mewujudkan semangat otonomi sebagai instrumen penguatan dan pengembangan potensi sumber daya daerah untuk memakmurkan rakyat, di sinilah letak persoalannya. Otonomi faktanya belum menjadi spirit untuk memberi manfaat seluas-luasnya bagi pengembangan sumber daya yang dimiliki daerah untuk kepentingan dan kemakmuran warga masyarakat.
Otonomi membutuhkan hadirnya seorang pemimpin di tengah rakyatnya. Kehadiran pemimpin di tengah rakyatnya bukan untuk menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi rakyatnya. Seola-olah di tangan pemimpinlah semua persoalan di masyarakat dapat diselesaikan.
Padahal, kehadiran pemimpin di tengah rakyatnya adalah untuk menggerakkan dan mempengaruhi rakyatnya untuk mau, bersedia dan turut serta berpartisipasi dalam mengembangkan dan mengelola sumber kekayaan daerah. Pemimpin yang hadir di tengah dan bersama masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya menjadi hope, harapan, sekaligus impian semua.
Dari 33 provinsi di Indonesia, pada masa 2004-2008, pemekaran daerah otonom baru belum memberi dampak nyata untuk mewujudkan masyarakat adil makmur. Rapor provinsi sebagian besar kategorinya (17 provinsi) harus berjuang keluar dari kemiskinan. Sebanyak 10 provinsi dalam kategori meningkatkan kinerjanya, dan hanya enam provinsi relatif mampu mengatasi berbagai tantangan dan hambatan.
Dari 6 provinsi dengan kategori berapor biru tersebut, syukur alhamdulillah, Provinsi Kepri sebagai provinsi ke 32 dari hasil pemekaran Provinsi Riau, berada di urutan keenam. Urutan pertama diraih DKI Jakarta, dengan skor 75.50, Kalimantan Timur 71.50, Sulawesi Utara 70.50, Sumatera Barat 69.17, Kalimantan Tengah 65.67, dan Kepri sendiri dengan skor 65.33 (Media Otonomi, Edisi No. 1 Tahun IV, 2009).
Kemudian, rangking provinsi lima besar berdasarkan IPM adalah DKI Jakarta 76.07, Sulut 74.00, DI Yogyakarta 73.37, Riau 73.30, dan Kalimantan Timur 72.80. Sedangkan Provinsi Kepri skor IPM-nya pada posisi kedelapan 71.93.
Dalam hal intensitas kemiskinan, Provinsi Kepri berada pada posisi kesembilan yaitu pada angka 10,65 persen. Sedangkan DKI Jakarta pada urutan pertama dengan 4,27 persen, Bali 6,65 persen, Kalimantan Selatan 7,26 persen, Banten 8,89 persen, Bangka Belitung 9,69 persen, Kalimantan Tengah 9,96 persen, Sulut 10,60 persen dan Kalimantan Timur 10,63 persen.
Sayangnya, dalam soal korupsi, IPK Kepri berada di urutan ke 17 dengan skor 4.40. IPK terbaik berada pada urutan pertama Yogyakarta dengan skor 6.43, kemudian, Jambi 5.57, NTB 5.41, Kalteng 5.35, dan Kalsel 5.11. Sementara Riau berada pada posisi 28 dengan skor 3.55.
***
Melihat perkembangan otonomi daerah yang sudah berumur lebih dari satu dasawarsa, sepertinya daerah belum berani merespon secara kreatif, inovatif, untuk memprakarsai pengelolaan SDA dengan SDM yang ada di daerah masing-masing. Spirit otonomi yang dijamin konstitusi negara masih gamang dijadikan peluang dan kesempatan seluas-luasnya oleh daerah. Dalam pengelolaan kekayaan sumber daya daerah lebih cendrung bersifat menunggu instruksi pemerintah pusat atas tugas pembantuan dan memanfaatkan dana dekonsentrasi.
Menurut hemat saya, Pemerintah Provinsi Kepri, pemerintah kabupaten kota (Batam, Tanjungpinang, Bintan, Karimun, Natuna, Lingga dan Anambas), sudah saatnya, secara bersama-sama, memanfaatkan otonomi daerah dalam mengembangkan SDM yang berkualitas, untuk mengelola kekayaan SDA.
Kepri dengan luas wilayah 252.601 KM2 (96 persen lautan dan 4 persen daratan) dengan 2.408 pulau (1789 pulau berdasarkan kriteria United Nation), dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah, harus punya spirit dan komitmen memajukan SDM. Ini menjadi conditio sine qua non agar kekayaan sumber energi dan mineral, seperti minyak dan gas, tambang bauksit, timah, dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan rakyat, bukan hanya pengusaha atau penguasa.
Kepri yang telah memiliki instrumen sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone), Batam, Bintan dan Karimun (BBK) harus dapat dimanfaatkan secara cerdas dan serius dengan spirit mewujudkan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat. FTZ BBK sebagai instrumen strategis seyogianya mampu dijadikan sebagai lokomotif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Pertumbuhan ekonomi Kepri sebesar 7,4 persen (2012) atau naik 0,2 persen dari tahun 2011, boleh dikatakan baik, tapi, tidak begitu menggembirakan. Sebab, daerah provinsi lain yang tanpa memiliki kekhususan dalam pengelolaan sumber daya alamnya, dapat memperoleh pertumbuhan ekonomi di atas delapan persen.
Selain instrumen kekhususan, posisi BBK juga berada di kawasan Selat Malaka yang sejak dahulu menjadi lalu lintas perdagangan terpadat di dunia, seperti Rusia dan Eropa. Diperkirakan sebanyak 150 -200 kapal berukuran 180.000 dwt ke atas melintas di Selat Malaka.
Di lain pihak, Kepri juga memiliki stategi dalam pengembangan wilayah Natuna, Anambas dan Lingga (NAL) sebagai katub pertumbuhan ekonomi yang mendukung dan mengimbangi percepatan pertumbuhan ekonomi di BBK. Pengembangan NAL ke depan yang menjadi prioritas utama adalah bagaimana membangun transportasi laut dan udara yang dapat menghubungkan aktivitas warga antar-pulau sebagai cara mengatasi keterisoliran.
Bahkan, Kepri yang memiliki 19 pulau terdepan sebagai wilayah perbatasan dengan negara Singapura, Malaysia, dan Vietnam, harus dikelola ekstra kerja keras dan lebih serius lagi dengan komitmen kuat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat Kepri.
Ke 19 pulau sebagai kawasan perbatasan tersebut tersebar di Natuan sebanyak 7 pulau, yaitu Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Sekatung, Senoa, Subi Kecil dan Kepala. Kemudian,Anambas terdsapat 5 pulau, yaitu, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Berlayar. Pulau Batam dengan 4 pulau, yaitu, Nipa, Pelampung, Berhanti, dan Nongsa. Bintan 1 pulau, yaitu Sentut. Karimun memiliki dua pulau, Karimun Kecil dan Tokong Hiu (Data bersumber dari Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kepri).
***
Melihat fakta kekayaan sumber daya yang dimiliki Kepri dengan kekhususan yang diberikan pemerintah kepada kawasan FTZ BBK, sudah seharusnya, daerah yang bertamaddunkan kebudayaan Melayu ini diurus secara serius. Salah satu strategi yang harus dibangun Kepri adalah dengan membangun dan mengembangkan SDM. Instrumennya adalah membangun basis-basis pendidikan dengan menyiapkan SDM unggul untuk menjawab dan merespon tantangan dan hambatan yang dihadapi.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menegaskan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban dan menjamin dana untuk pendidikan mulai dari usia tujuh sampai 15 tahun. Itu maknanya, wajib belajar sembilan tahun sudah harus dilakukan, bahkan menyiapkannya sampai 12 tahun.
Pendidikan dasar 12 tahun, bagi Kepri, seharusnya sudah harus dimulai. Grand strategi pendidikan dasar 12 tahun bukanlah hal sulit. Jika seluruh daerah kabupaten kota bersedia dan mau berkomitmen bersama provinsi menyelenggarakan pendidikan dasar wajib 12 tahun, Insya Allah dapat terwujud. Caranya, Kepri harus membentuk satu Perda Pendidikan Dasar 12 tahun yang berlaku bagi seluruh Kepri dengan melibatkan seluruh daerah kabupaten kota secara terintegrasi.
Perda Pendidikan Dasar 12 Tahun ini menjadi kewajiban setiap daerah untuk melaksanakannya dengan share dana antara provinsi dengan kabupaten kota. Pendidikan dasar 12 tahun tersebut bukan hanya untuk sekolah menengah atas, tapi, juga menengah kejuruan, sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Hadirnya Perda Pendidikan Dasar 12 tahun, diharapkan, tidak ada lagi anak-anak Kepri karena miskin atau alasan lain, tidak dapat bersekolah sampai jenjang SMA atau SMK. Hadirnya perguruan tinggi negeri dan swasta di Kepri, seperti Sekolah Tinggi Teknologi Ibnu Sina di Batam, menjadi harapan bagi masyarakat. Anak-anak Kepri yang memiliki kesempatan untuk meneruskan ke perguruan tinggi, dapat mengembangkan skill atau ketrampilannya.
Dalam memajukan perguruan tinggi, sebagai institusi formal menyiapkan SDM berkualitas, pengembangan budaya akademik di kampus menjadi suatu yang mutlak. Pengembangan budaya akademik akan tumbuh berkembang baik apabila didukung oleh SDM tenaga pengajar atau dosen dengan kualifikasi keilmuan yang memenuhi standar keilmuan dengan gelar akademik linear dengan kompetensi keilmuan yang memadai.
Oleh karena itu, perguruan tinggi harus serius menyiapkan dirinya sebagai institusi penting dalam memajukan SDM di Kepri. Sebab, kualitas pengembangan SDM hari ini dan masa depan sangat ditentukan oleh kualitas institusi pendidikan yang melahirkan para sarjananya saat ini. Jika investasi kualitas pendidikan tinggi kita di Kepri rendah, maka, akan rendah pula kualitas sarjana yang dihasilkannya. Produk SDM di Kepri akan terlihat 10 atau 20 tahun mendatang berdasarkan investasi pendidikan yang kita bangun saat ini.
Pada kesempatan ini, saya menyarankan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota hendaknya memanfaatkan perguruan tinggi sebagai fatner dalam mengembangkan SDM pada masa kini dan masa depan. Pemerintah dan dunia usaha, harus bersinergi dengan perguruan tinggi, agar konsep link and match, terkait dan bersesuaian, terbangun secara terintegrasi.
Konsep link and match dalam pendidikan, hendaknya menjadi komitmen dan semangat bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan, terutama pengembangan di kawasan perbatasan yang membutuhkan tenaga-tenaga trampil yang memiliki keahlian teknis.
Bila Pemrpov Kepri ingin sukses membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan NAL dan perbatasan, sudah saatnya, rekruitmen tenaga-tenaga terampil dan memiliki keahlian diambil dari perguruan tinggi.
Secara konkret, Kepri sudah seharusnya membuat program Sarjana Penggerak Perbatasan yang tugasnya memberikan supervisi dan pendampingan bagi warga yang hendak mengembangkan usaha untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidupnya. Sumber tenaga Sarjana Penggerak Perbatasan dapat direkrut dari para sarjana di lingkungan perguruan tinggi di Kepri atau putra-putri Kepri yang menimba ilmu pengetahuan di daerah lain, termasuk di luar negeri.
Di sinilah letaknya betapa pentingnya memajukan SDM untuk kemajuan Kepri di masa depan. Membangun SDM di Kepri, membutuhkan spirit atau etos yang dapat mendorong dan menggerakkan semua komponen masyarakat. Spirit dan etos itu adalah, cita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai janji mengisi kemerdekaan RI yang harus ditunaikan.
Dengan ideologi Pancasila sebagai roh dan fighting spirit-nya, dan semangat kebhinekaan dalam payung budaya Melayu sebagai pengayomnya, Insya Allah SDM berkualitas akan berkembang, dan Kepri pun menjadi daerah maju dan berperadaban modern. (SMN)
Tulisan ini disampaikan dalam Orasi Ilmiah Pada acara Wisuda Sarjana Angkatan VIII, Sekolah Tinggi Teknik Yayasan Pendidikan Ibnu Sina, Batam, Sabtu, tanggal 12 Januari 2013 di Hotel Novotel, Batam.