Cerpen : \”MEREKA BUKAN SAMPAH\”

(Oleh : Agie)

Kerincing tutup botol, berbunyi nyaring diperempatan jalan. Beradu, menembus kuping, Mengalahkan kerasnya rongrongan knalpot. Bocah kecil lusuh dengan rombengan kain memperlihatkan koreng hampir disetiap sisi tubuhnya.

Mencari sesuap nasi tuk diri sendiri. Telah lama ditinggal mati kedua orang tua. Begitu kabar yang ia dengar dari pengasuh panti.

“Ayah, dan Ibu mu telah lama meninggal. Kamu ditinggal oleh seorang ibu paruh baya yang menemukanmu diatas sebuah kursi kayu tepat dibelakang toilet terminal. Hampir mati digerogoti semut dan nyamuk malam.”

Tak tergurat sedikitpun sesal ataupun menyalahkan dunia atas apa yang terjadi.

Mereka disebut “Anak Jalanan”. Ya, anak jalanan.

Bau asap knalpot dan dinginnya udara malam bukan lagi hal yang mesti mereka takuti. Hidup bebas tanpa belaian tak akan pernah lagi membuat mereka jengah. Tak jarang sisa-sisa sampah jadi pengganjal perut yang meronta-ronta.

Penyakit? bukan lagi hal yang mesti mereka pikirkan.

Dapat hidup hari ini saja sudah anugerah bagi mereka. Mereka bukan sampah, mereka hanya bocah terpinggirkan. Bukan salah mereka lahir seperti itu.

“Masss?” pinta seorang bocah bertubuh kecil disebelahku. Menyodorkan kantong bekas permen, tampak wajah penuh harap tergambar.

“Kencriiingg.” Beberapa keping receh yang ku rogoh dari saku segera meluncur deras masuk kedalam kantongnya. Dari mukanya yang datar penuh harap tadi seketika berubah. Bibirnya merekah, terangkat beberapa senti, memperlihatkan gigi kuning tak terawat. Namun cukup manis. senang rasanya.

“Terimakasih mas.”

Berlalu aku, lampu hampir menuju hijau. Angka sudah dibatas 5 detik. Tanpa ku hirau lagi bocah kecil itu pun ikut menepi. Aku kembali melanjutkan perjalanan, dan dia? kembali menunggu hingga lampu berubah merah untuk waktu yang selanjutnya.

Belakangan ini, hampir tiap minggu aku mesti lewat perempatan itu. Dan selalu, bocah kecil berwajah bulat dengan pakaian yang selalu compang-camping itu menghampiriku. Ia pun selalu tampak senang dengan receh ku yang tak seberapa. Aku jadi punya kebiasaan baru sekarang. Sebelum pergi dan harus melewati salah satu perempatan jalan lingkar selatan Yogyakarta, aku pasti menyiapkan beberapa keping receh sejak dari rumah untuk bocah tersebut.

Suatu ketika, aku persiapkan sebungkus makanan, yang kubeli disebuah rumah makan. Aku berencana untuk memberikan pada si bocah, hari ini aku ingin melihat lebih lama jalan hidupnya, cukup untuk hari ini saja.

Sampai sudah aku diperempatan, berhenti disebuah tambal ban. Bocah itu sudah melihat, tentu dengan senyumnya. Barangkali berharap receh yang lebih hari ini.

Kuhampiri dia, ku sodor sebuah kantong berisi nasi. Dia hanya terpelongo, mungkin bingung. Tapi tak apa, tetap ku beri dia.

Ku ajak dia menepi disebuah gubuk dipinggir jalan yang sudah tak terpakai lagi.

“Makanlah dulu.” Pujuk ku padanya.

“Iya mas, kebetulan emang lagi laper.” Bocah itu hanya cengengesan, tapi tetap terlihat jelas kerasnya dunia diatas air mukanya.

Setelah selesai dengan nasi bungkusnya, ku coba ajak dia berbicara ngalur ngidul. Tampak bibirnya bergetar menceritakan kisah hidup, tak terbayang oleh ku harus hidup seperti itu.

Sejak umur 7 tahun ia sudah lepas dijalanan. Panti tak lagi mengurus, entah apa alasannya, barangkali sebab dana yang jauh dari cukup. Tak bisa membiayai makan mereka terus menerus.

Pertanyaan terakhirku padanya untuk saat itu, “Apa pernah ada seseorang yang datang padamu, dan memberi bantuan, entah uang atau sekedar makanan?”

Ia jawab hanya dengan gelengan kepala.

Ya, setelah itu aku pulang. Kembali keperaduan.

“Mas pulang dulu ya.”

Lagi-lagi ia hanya tersenyum.

Minggu-minggu selanjutnya aku masih lewat perempatan itu. Beberapa minggu aku masih setia memberinya receh. Hingga suatu minggu tak terdengar olehku rincingan tutup-tutup botol yang sudah berkarat itu.

hingga minggu berikutnya pun tak tampak lagi bocah kecil lusuh pencari receh.

Sampai satu hari, aku memberanikan diri untuk bertanya pada bapak tambal ban ditempat biasa bocah itu menanti dan berharap lampu akan selalu merah.

“Permisi Pak, anak yang selalu ngamen disini kemana ya?”

“Beberapa minggu lalu ia meninggal mas. Ada apa ya? mas saudaranya?” tutur si bapak padaku.

“Tidak pak, meninggal kenapa ya?”

“Sakit tipes katanya.”

“Bapak tahu rumahnya dimana?”

“Tidak mas, ada apa?”

“Oh tidak pak, terimakasih ya pak.”

Aku berlalu, masih bertanya-tanya. Bingung, kemana harus kucari kubur anak itu. Atau kemana aku harus mencari penjelasan, dia masih telalu muda. Hari saat ku beri ia nasi bungkus, masih teringat olehku sedikit pembicaraan itu. Terselip juga cerita bahwa ia punya mimpi. Ia punya cita-cita, ingin membuka bengkel motor.

Apakah salah ia punya mimpi?

Apa anak jalanan tak boleh bermimpi?

Apa anak jalanan tak boleh hidup lama?

Apa menjadi anak jalanan harus seprti itu?

Lahir tanpa ada yang menanti?

Matipun tak ada yang menangisi?

Ada dan tidaknya dia, tak pernah dunia mau perduli?

Dunia tak pernah kenal dia.

Apa dunia tahu bahwa ia ingin berarti untuk dunia?

Kemana manusia? kemana mereka?

Ku lihat dengan jelas diperempatan jalan itu. tertulis sangat jelas, bahkan oleh mereka yang bermata minus.

“PERDULI TIDAK SAMA DENGAN MEMBERI”

Mereka melarang kami memberi receh langsung pada bocah-bocah malang itu. Salurkan pada mereka dan mereka akan kembali menyalurkan pada tempat yang benar.

Tapi kemana larinya?

Apa itu cuma sekedar kata?

Hanya sekedar untaian busuk?

“Anak Jalanan”, Mereka Bukan Sampah!!

Mereka bocah, anak-anak kita.

Mereka bukan untuk kita acuhkan apalgi kita buang. bukan untuk kita pinggirkan.

Mereka nyata, mereka ada ditengah-tengah kita. mereka butuh sebuah pembuktian. Bahwa Mereka ada.

Mereka butuh belaian dan peluk hangat dari kalian semua.

Mereka adalah Permata Indah. Dan Mereka Bukan Sampah!!

Jogjakarta, 20 April 2013.

tertulis

suprapto

Read Previous

Gubernur Ajak Masyarakat Kepri Menjunjung Adat

Read Next

Polisi Bekuk Empat Pengguna Sabu dan Ganja