Marak, Gelombang Tuntut Copot Azirwan

Promosi untuk koruptor (Azirwan) di lingkungan pemerintah pada prinsipnya justru menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi dan sekaligus akan mengurangi pemberian efek jera dan sanksi sosial kepada koruptor.

 

BATAM, IsuKepri.Com — Gelombang tuntutan berbagai kalangan masyarakat agar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Azirwan dicopot dari jabatannya kian meluas. Gubernur Provinsi Kepri, Muhammad Sani dituding tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi dengan pengaktifan kembali mantan terpidana kasus korupsi alih fungsi hutan lindung di Bintan tersebut.

Azirwan, yang juga mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, bebas dari tahanan sekitar tahun 2010. Azirwan dan Al Amin Nasution (waktu itu anggota Komisi IV DPR) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 April 2008.

Azirwan divonis 2 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 100 juta atau subsider tiga bulan penjara. Azirwan terbukti menyuap Al Amin terkait pembahasan alih fungsi hutan lindung di Bintan pada 2008.

Sebagaimana pernah dinyatakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam, Bambang Heri. Menurutnya, tidak sepatutnya seorang narapidana kasus korupsi mendapatkan promosi dan kembali menjadi bagian dari penyelenggara Negara.

“Dalam pasal 1 angka 6 UU nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN menyebutkan bahwa azas umum pemerintahan negara yang baik adalah azas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN,” katanya.

Begitupun pernyataan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva Kusuma Sundari dalam sebuah media terbitan nasional. Menyatakan bahwa pengaktifan kembali mantan terpidana korupsi adalah bukti ketidakkonsistenan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

“Sepatutnya tidak langsung dipromosi agar masyarakat tidak menjadi bingung terhadap konsep konsistensi, komitmen terhadap pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Menurut Eva, seharusnya seluruh pemangku kepentingan menyadari akan kewajiban untuk pendidikan politik kepada masyarakat dengan prinsip zero tolerance terhadap korupsi.

“Kalau seperti ini, bisa dibaca pesan sebaliknya yaitu toleransi terhadap korupsi. Kami menyesalkan merit system tidak dijalankan dengan serius,” kata Eva.

Politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menilai, pengaktifan kembali Azirwan sudah menyalahi rasa keadilan masyarakat. Ia pun menuding instansi pemerintahan yang mengangkatnya tidak konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi.

“Sebenarnya itu sudah menyalahi. Mungkin dia (pemerintah Provinsi Kepri) menilai kalau hukumannya tidak terpenuhi sampai di atas lima tahun. Tapi kalau sudah divonis bersalah, mau satu menit kek, itu tandanya dia sudah korupsi, melakukan perbuatan tercela,” ujar Ruhut.

Anggota Komisi III itu melihat tidak adanya sanksi sosial yang dilakukan dengan menangkat kembali Azirwan menjadi pejabat pemerintahan. Ruhut mengaku tak habis pikir dengan sikap Azirwan yang tetap menginginkan kembali ke pemerintahan.

“Seharusnya dia punya malu saat kembali jadi pejabat. Kalau tetap mau menjabat, itu sama aja dengan “‘muka tembok”‘ namanya,” kata Ruhut.

Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai promosi itu mencederai hukum dan keadilan. “Promosi untuk koruptor (Azirwan) di lingkungan pemerintah pada prinsipnya justru menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi dan sekaligus akan mengurangi pemberian efek jera dan sanksi sosial kepada koruptor,” kata Emerson.

Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menyatakan, masyarakat berhak untuk menolak pengangkatan bekas narapidana koruptor menjadi pejabat di pemerintah daerah lewat unjuk rasa atau petisi pembatalan. Penolakan bisa disampaikan lewat unjuk rasa, membuat petisi penolakan, atau membuat mosi tidak percaya.

“Orang yang pernah menyuap atau maling uang negara tak bisa diberi jabatan publik. Masyarakat berhak untuk menolak pengangkatannya,” katanya.

Menurut Siti Zuhro, bekas narapidana koruptor adalah orang yang pernah divonis hukuman akibat terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam semangat memerangi korupsi dan membangun pemerintahan berintegritas, orang semacam itu tidak boleh dipromosikan menduduki jabatan publik. Pejabat semestinya merupakan sosok yang harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat.

“Bekas narapidana koruptor jelas tak bisa jadi teladan sehingga harus ditolak,” katanya.

Pjs Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Anatomi Mulyawan menilai mantan koruptor Azirwan tidak layak dipromosikan sebagai Kepala DKP Provinsi Kepri. Pasalnya, Azirwan pernah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap anggota Komisi IV DPR Al-Amin Nasution pada 2008 silam.

“Seharusnya tidak ada pengangkatan jabatan terhadap penyelenggara negara yang pernah tersangkut kasus korupsi. Penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN adalah amanah reformasi,” katanya.

Anatomi mengatakan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pejabat negara yang pernah tersangkut kasus korupsi harus diberhentikan. Maka itu, promosi jabatan terhadap Azirwan dinilai tak tepat. Pasalnya, Azirwan tidak diberhentikan dari korps PNS. (sec)

iwan

Read Previous

Senin, FSPMI Aksi Solidaritas Kekerasan atas Wartawan

Read Next

Batam dan Bintan, Pintu Terdepan Wisman ke Kepri