Nelayan di Perbatasan Yang Ditangkap Malaysia di Telanjangi

Batam, Isukepri.com – 3 nelayan asal Sumatera Utara (Sumut) yang ditangkap aparat keamanan Malaysia mengaku mendapat perlakuan tidak manusiawi selama ditahan di negara itu. Tidak hanya dipukuli, mereka mengaku disuruh berjoged dalam posisi telanjang.

“Kalau untuk makan dikasih satu hari sebanyak dua kali. Tapi, orang itu ada yang main pukul kalau kita terlambat saat kita dipanggil atau tidak menuruti perintah dia. Rambut kami pun dipotong hingga plontos begini. Sempat juga kami ditelanjangi sambil disuruh berjoget,” tutur Ahmad Khoiri (33) sambil menirukan goyangnya tersebut dengan polos.

Ahmad Khoiri merupakan salah satu dari 13 nelayan asal Sumut yang dideportasi Malaysia melalui Tanjungpinang, Jumat (31/8), setelah ditangkap pada 5 Agustus lalu. Ia dan rekan-rekannya ditemui di Bandar Udara Hang Nadim, Sabtu (1/9), sebelum terbang ke Medan dengan menggunakan pesawat Lion Air nomor penerbangan JT-971. Mereka tiba di Bandara Polonia, Medan sekitar pukul 12.15 WIB.

Selain Khoiri, 12 nelayan lainnya adalah Ibrahim bin Idris (26), Azwar (16), Syaiful Azhar (23), Irwansyah (17), Muhammad Yayu (16), dan Muslim (15). Kemudian Syamsul Bahri (30), Muhammad Syafii (26), Atan bin Suhud (30), Muhammad Komizar (21), Hendra (14), Ibrahim (16). Seluruhnya warga Desa Lalang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara, Sumut.

Ahmad Khoiri mengungkapkan, dirinya bersama ke-12 rekannya ditangkap aparat keamanan Malaysia karena menjaring ikan di perairan yang diduga sudah masuk wilayah Malaysia. Ia sendiri dan rekan-rekannya, kata dia, sama sekali tidak bermaksud melewati perairan Indonesia untuk mencari ikan. Dikatakan Khori bahwa dirinya bersama dengan 12 rekannya pergi untuk mencari ikan dari perairan di Kabupaten Batubara pada Minggu (5/8).

“Seperti aktivitas kami biasa, kami mencari ikan di laut dan mencari ikan di sekitar Pulau Jarak. Sekitar pukul 11. 00, kami ditangkap karena mencuri ikan di perairan mereka katanya,” ujarnya.

Kepala Seksi (Kasi) Penanganan Barang Bukti dan Awak Kapal Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Moch Nursalim mengatakan, para nelayan itu ditangkap Tentara Laut Diraja Malaysia pada 5 Agustus lalu atas tuduhan memasuki perairan Malaysia di kawasan Pulau Pangkor.

“Ada lima nelayan lagi yang masih menjalani proses hukum di Malaysia atas tuduhan yang sama. Jika tidak ada kendala, Oktober mendatang akan dipulangkan ke Tanah Air,” sebut Nursalim di Bandara Polonia, Medan.

Nursalim mengakui kelemahan nelayan tradisional yang ditangkap ini, karena tidak memiliki alat navigasi memadai. Akibatnya tidak mengetahui telah memasuki perairan negara tetangga. “Para nelayan tradisional tidak dilengkapi alat navigasi lengkap saat mencari ikan. Akibatnya, tidak mengetahui sudah masuk ke wilayah perairan negara tetangga,” sebut Nursalim.

Sebelumnya, di Batam, Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Kalakhar Bakorkamla) Laksamana Madya TNI Bambang Suwarto mengatakan penandatanganan kerjasama (MoU) antara Indonesia dengan Malaysia berdampak pada berkurangnya penangkapan nelayan oleh kedua negara.

“Saat ini jika ada nelayan dari kedua negara memasuki perairan yang belum jelas siapa pemiliknya di perbatasan dua negara, hanya dihalau. Tidak ada penangkapan. Jadi jumlah penangkapan nelayan kedua negara berkurang,” katanya.

MoU tentang pedoman umum penanganan masalah laut perbatasan RI-Malaysia yang dimaksud itu ditandatangani di Nusa Dua, Bali, 27 Januari, oleh Lakma TNI Y Didik Heru Purnomo yang saat itu menjabat Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Indonesia dan Sekretaris Majelis Keselamatan Negara Malaysia Dato Mohamed Thajudeen Abdul Wahab.

Ia berpendapat, bila dipelajari isinya, MoU tersebut merupakan upaya maju pemerintah untuk melakukan perlindungan kepada nelayan Indonesia yang beroperasi di wilayah perbatasan.

Dengan adanya MoU tersebut, maka aparat kedua negara tidak lagi melakukan penangkapan terhadap nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan dalam batas-batas wilayah kedua negara karena para nelayan tradisional tersebut dinilai hanya memiliki kapal berukuran kecil tanpa navigasi yang memadai. (Hln)

suprapto

Read Previous

Petani Bintan Sampaikan Pesan dari SBY

Read Next

Dahlan : PNS Harus Kerja Keras