Hujan Emas di Negeri Sendiri, Mimpi Kali

Jeritan TKW di Negeri Jiran

IBARAT pepatah “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, dari pada hujan emas di negeri orang” sudah tidak berlaku lagi bagi banyak TKI yang mengadu nasib di negeri jiran paman Lee Kwan Yu dan pak cik Mahatir Muhammad. Pasalnya, kehidupan mengadu nasib di negeri orang menjadi pilihannya dalam memperbaiki taraf ekonominya.

Ratusan bahkan ribuan mill melintasi lautan meningglakan sanak dan keluarganya menuju sebuah pengharapan agar bisa merubah kehidupannya menjadi lebih baik, karena tanah kelahirannya tidak memberikan nafkah hidup setelah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan. Melalui sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja, Rina bersama rejan-rekannya mencoba mengadu nasib ke negeri jiran.

Tanpa pikir panjang, perempuan berstatus janda saat itu, menerima tawaran dari seorang sponsor PJTKI yang beralamat di Jakarta. Tujuannya, satu ingin memperbaiki taraf ekonomi keluarga di kampung halamannya di Pacitan, Jawa Timur. “Cuma dengan jadi TKI bisa merubah hidup, di kampung susah kerjaaan,” tutur Fitri Fitriani (33) perempuan yang bekerja sebagai baby siter di kawasan Tanah Merah, Singapura ini.

Ditemui di area taman sebuah apartemen kelas menengah, Fitri sapaan akrabnya, bersama rekan-rekannya asik bercerita tentang Ramadhan, Lebaran dan kampung halamannya yang sudah sembilan tahun ditinggalkannya. Dia kerap berkata, jika saja desa kelahirannya memberi banyak kesempatan kerja dan mata pencaharian, mungkin dia tidak jauh-jauh pergi merantau meninggalkan tanah kelahirannya. Masa-masa sulit itu kerap dialamainya saat hidup di kampung,

Jangankan membeli perhiasan atau bangun rumah, nutup biaya hidup sehari-hari saja susah. Baginya menjadi TKI sudah menjadi garisan tangan hidup yang harus dijalani. Diakuinya berat hidup meninggalkan anak dan keluarga tercinta sangat berat tapi keadaan itu yang memksa harus rela menjalani hidup tanpa orang-orang tercinta di sekelilingnya. “Pengennya sih kumpul bareng keluarga tapi keadaan yang memaksa harus pisah. Di kampung susah mas, pengen juga bisa cari nafkah di kampung tapi sepertinya mimpi,” ujar perempuan yang hanya lulus sekolah dasar itu.

Rima salah satu dari beberapa TKI yang mengais rejeki di negeri orang, Aninditta Fauzan juga memilih mencari penghiduipan di rantau jiran karena ingin menghidupi ketiga anak-anaknya di Bandung, Jawa Barat. Sejak berpisah dengan suaminya, diapun berganti profesi menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Kerja serabutan pun dilakoninya agar bisa bertahan hidup dan membiayai sekolah anak-anaknya.

Suatu waktu dia punya famili yang kebetulan menikah dengan pria berkewarganegaraan Singapura, tanpa pikir panjang dia menerima tawaran ajakannya untuk mengadu nasib di negeri jiran itu. Awal-awal tiba di Singapura, tak tahu apa yang harus dilakukannya tapi karena luwes dalam pergaulan, berkat bantuan sepupunya bernama Nia, dia mencoba mendatangi sebuah perusahaan agen pembantu rumah tangga (PRT). Diapun diterima sebuah agen tersebut.

Beberapa tahun bekerja sebagai karyawan permanen di perusahaan agen PRT, dia memutuskan memilih sebagai pekerja paruh waktu atau part time di perusahaan itu karena ada kerjaan yang diyakininya memberikan pengharapan yang lebih baik dari pekerjaan semula. Sambil sesekali berkata mengenang masa-masa sulit saat di kampung di Bandung, Jawa Barat. “Susah hidup di kampung, cari uang Rp100 ribu saja sulitnya minta ampun, di sini Rp500 ribu sehari dapat. Di sini bisa kerja part time, rata-rata dapat 10 Singapura dolar dibayar setiap jamnya,” ujar perempuan yang sempat kuliah di program diploma LPKIA Bandung sambil sesekali menghitung uang dolar yang tersimpan di dompet merek Bonia.

Sama halnya dengan Yuli Haryani, perempuan asal Semarang, Jawa Tengah itu, baru beberapa bulan saja bekerja dan tinggal di Malaka, Malayisa. Namun, dia sedikit beruntung dibanding TKI lainnya, dia tidak bekerja sebagai PRT atau pekerjaan kasar, karena janda satu anak itu memiliki pengalaman kerja di sebuah kapal pesiar juga pandai bercakap bahasa Inggris. “Saya kerja sebagai kasir di sebuah pusat perbelanjaan, Alhamdulillah gak cape-cape banget kerjanya, terus bos juga baik,” ujarnya.

Meski penghasilannya yang dia peroleh rata-rata perhari mendapat upah 50-100 RM, dia tetap mendambakan bisa kerja di Indonesia. Tapi kesempatan itu seolah tertutup rapat baginya. “Pengennya bisa kerja di tanah air, supaya kumpul sama anak dan keluarga, tapi tahu sendiri kalau tak ada koneksi susah, semuanya harus ada orang dalam yang bawa,” keluhnya.

Perempuan kelahiran Semarang, 25 Juli 1985 ini, seperti pupus harapan untuk bekerja di tanah air tercintanya, dia lagi-lagi berucap mimpi bisa bekerja di dalam negeri. “Sepertinya mimpi bisa kerja di Indonesia, berkali-kali sata lamar tapi nihil. Oiya, kalo ada peluang mau sih, kabar Aku ya bisa lewat surat elektronik atau FB,” harap perempuan yang hanya lulus SMA di kampung itu. Rima, Anindita Fauzan dan Yuli, tiga dari anak negeri yang mengadu nasib di negeri orang, persoalan mensejahterakan kehidupan bangsa harus menjadi prioritas pemerintah. Pemerintah harus fokus mencari solusi agar warga negaranya tidak jauh-jauh menjadi budak di luar negeri. Negeri ini kaya tapi rakyatnya banyak yang hidup dalam kemiskinan, ibarat anak ayam mati di lumbung padi. (tito suwarno)

iwan

Read Previous

Putusan MK Terkait UU Pemilu Kembalikan Asas Keadilan

Read Next

Kejar Target, Perekaman e-KTP Dilakukan di Mal