Dapur 12, Kini Hanya Tersisa 2

BATAM, IsuKepri.Com — Jejak peninggalan kehidupan orang-orang terdahulu di Kota Batam, masih bisa ditemui di sejumlah tempat. Diantaranya Dapur Arang, yang merupakan salah satu mata pencaharian warga Batam yang ada di Kampung Tua Dapur 12, biasa disebut Dapur 12 Pantai.

Bangunan dapur untuk menghasilkan arang berkualitas ini merupakan unduk-undukan dari tanah. Memiliki tinggi sekitar 4 meter, berbentuk setengah bulatan berdiameter sekitar 5 meter. Dinding dapur arang ini memiliki ketebalan sekitar setengah meter.

Tidak ada ukuran standar atas dapur arang yang dibuat untuk memproduksi arang-arang ekspor ini. Tergantung kebutuhan dan hasil produk arang yang diinginkan. Yang penting mampu membakar kayu dengan panas yang maksimal dalam ruang tertutup, seperti gua.

Untuk memproduksi arang, di salah satu sisi dapur dibuat lubang berukuran sekitar 70 cm dan lebar 30 cm. Lubang ini berfungsi untuk memasukkan kayu yang akan dibakar dan mengeluarkan arang yang telah matang.

Saat ini, tinggal tersisa 2 dapur dari 12 dapur arang di kawasan itu. Padahal jumlah dapur arang sebanyak 12 waktu itu, menjadi dasar penamaan kawasan di Kelurahan Sei Pelunggut tersebut menjadi Dapur 12.

“Karena jumlah dapur arang ada 12, makanya daerah ini dinamakan Dapur 12,” ungkap Ima salah seorang warga yang mengaku telah berusia sekitar 100 tahun, Selasa (7/8/2012).

Menurut warga asal Alor, Flores ini, saat menginjakkan kaki di Dapur 12 sekitar tahun 1950-an, hanya belasan orang saja yang tinggal di Dapur 12. Membuat arang menjadi salah satu mata pencaharian utama warga saat itu, selain melaut.

Kawasan Dapur 12 merupakan salah satu produsen kayu arang bermutu untuk kemudian dijual ke Singapura. Arang bermutu ini dihasilkan dari bahan baku arang, berupa pohon bakau yang tumbuh subur di sepanjang pantai di sekitar itu.

Dapur-dapur ini dimiliki dan dibangun oleh orang China. Masyarakat akrab menyebutnya Tolo Tong Ci Pulau Buluh.

“Tolo Tong Ci dulunya merupakan orang terkaya di Pulau Buluh, sekarang sudah meninggal,” jelasnya.

Setelah berbentuk arang, selanjutnya arang dimasukkan sementara ke tempat penyimpanan. Menunggu kapal masuk untuk mengangkut arang ke Singapura. Transaksi penjualan arang menggunakan mata uang dollar, dengan harga yang mereka sebut harga per katinya 40 sen.

Namun sejak adanya kebijakan pemerintah yang melarang produksi arang, satu per satu dapur arang pun berhenti beroperasi. Mata pencaharian warga pun beralih menjadi nelayan murni.

Tidak lagi di fungsikan, kondisi dapur arang di Dapur 12 Pantai lama kelamaan semakin tergerus. Hanya tersisa dua dapur arang dengan kondisi tak terurus.

Salah satu dari dapur arang ini juga berluban di bagian atasnya. Sedangkan di dalam lubang dapur sudah dipenuhi dengan sampah.
Sebagai kawasan Kampung Tua, bangunan dapur arang di Dapur 12 seharusnya bisa menjadi nilai sejarah tersendiri. Dan bisa menjadi semacam cagar budaya bagi kampung tua di Batam.

“Tidak ada perhatian sama sekali dari Dinas Pariwisata,” kata salah seorang tokoh masyarakat Dapur 12 Pantai, Aryanto Rosyad.

Camat Sagulung, Abidun Pasaribu juga mengakui minimnya perhatian pemerintah atas bukti-bukti sejarah yang ada di wilayah Kampung Tua Dapur 12 Pantai. Saat ini terdapat sekitar 300 kepala keluarga di Kampung Tua Dapur 12 Pantai.

“Ke depan kita akan mencoba mengajukan agar ada anggaran untuk melestarikan nilai-nilai sejarah di Kampung Tua Dapur 12 Pantai ke Dinas Pariwisata,” katanya. (eki)

iwan

Read Previous

PKK Batam Serahkan Parsel kepada Lansia

Read Next

Semifinal Sepakbola London 2012, Meksiko vs Jepang